Minggu, 23 November 2008

Peran Orang Tua dan Guru terhadap Prestasi Siswa

PERAN ORANG TUA
Secara umum para nobelis fisika lahir dari keluarga yang memiliki tradisi ilmiah yang cukup kuat. Banyak di antara orang tua mereka yang berpendidikan tinggi dan akhirnya menjadi pendorong keputusan mereka untuk berkarir di bidang ilmiah. Hideki Yukawa, misalnya. Nobelis fisika 1949 asal Jepang ini mengikuti jejak ayahnya, Takuji Ogawa, seorang profesor fisika di Universitas Kyoto. Sin-Itiro Tomonaga (nobelis 1965) juga berayahkan seorang profesor di Universitas Kyoto, tapi di bidang filsafat. Sejak masa kanak-kanak Tomonaga kecil telah dikirim ke sekolah berkualitas di Jepang.Secara umum para nobelis fisika lahir dari keluarga yang memiliki tradisi ilmiah yang cukup kuat. Banyak di antara orang tua mereka yang berpendidikan tinggi dan akhirnya menjadi pendorong keputusan mereka untuk berkarir di bidang ilmiah. Hideki Yukawa, misalnya. Nobelis fisika 1949 asal Jepang ini mengikuti jejak ayahnya, Takuji Ogawa, seorang profesor fisika di Universitas Kyoto. Sin-Itiro Tomonaga (nobelis 1965) juga berayahkan seorang profesor di Universitas Kyoto, tapi di bidang filsafat. Sejak masa kanak-kanak Tomonaga kecil telah dikirim ke sekolah berkualitas di Jepang.
Sedangkan ayah Samuel Chao Chung Ting, (nobelis 1976) adalah seorang profesor teknik di Universitas Nasional Taiwan dan ibunya profesor psikologi. Ketika Ting dilahirkan, kedua orang tuanya sama-sama sedang belajar di Universitas Michigan, Amerika. Sejak kecil Ting disosialisasikan dengan dunia pendidikan tinggi dan komunitas ilmiah sehingga ia dapat bertemu dengan para ilmuwan kolega orang tuanya. Namun kesan mendalam yang tertanam dalam benak Ting adalah kisah neneknya yang sukses melalui masa-masa sulit dalam hidup mereka untuk memperjuangkan ibunya memperoleh pendidikan yang baik. Semua itu berpengaruh besar bagi Ting dan membawanya pada keputusan untuk berkarir di bidang ilmiah. Sekalipun ada yang tidak berpendidikan tinggi, orang tua dari para nobelis fisika tetap memiliki kesadaran tinggi akan pentingnya pendidikan yang baik bagi anak-anak mereka. Mereka pun mendukung dan memberi perhatian akan bakat dan minat sang anak. Misalnya, orang tua dari Abdus Salam, nobelis 1979 asal Pakistan. Ayahnya bukan ilmuwan hebat, hanya seorang pegawai departemen pendidikan di daerah pertanian miskin, tetapi keluarganya memiliki tradisi pendidikan yang kuat. Sedangkan Subramanyan Chandrasekhar (nobelis 1983) berayah seorang pegawai departemen keuangan India dan ibunya hanya seorang ibu rumah tangga biasa namun berintelektual tinggi. Kedua orangtuanya, menurut Chandrasekhar sangat menaruh perhatian pada pendidikan anak-anaknya. Orangtuanyalah yang langsung mengajar secara khusus di rumah hingga ia berusia 12 tahun. Orang tua Daniel Tsui, nobelis fisika tahun 1998 asal Cina bahkan buta huruf dan miskin. Mereka memang berasal dari desa kecil yang terkoyak perang. Tapi mereka bekerja keras untuk mengirim Tsui ke sekolah terbaik di negerinya sekalipun harus melepas anaknya ke tempat yang sangat jauh. Perhatian orang tua pada anak mereka juga bisa diwujudkan dengan membelikan mereka buku-buku atau hadiah yang dapat merangsang minat sang anak terhadap bidang ilmiah. Misalnya ayah peraih nobel 1999 asal Belanda, Gerard Hooft. Ayah Hooft yang menangkap bakat ilmiah anaknya sering membelikan buku-buku pengetahuan dan permainan yang merangsang kreativitas Hooft. Hooft masih ingat ketika ayahnya membelikan buku tentang radio. Juga ketika ia dibelikan mainan yang cukup mahal tetapi dengan perjanjian ia harus membuat apa yang diinstruksikan dalam buku panduan meskipun kemudian ia malah membuat model lain berdasarkan idenya sendiri. Hooft mengingat pemberian ayahnya itu sebagai hal terbaik yang pernah dilakukan sang ayah terhadap dirinya.Perhatian orang tua pada anak mereka juga bisa diwujudkan dengan membelikan mereka buku-buku atau hadiah yang dapat merangsang minat sang anak terhadap bidang ilmiah. Misalnya ayah peraih nobel 1999 asal Belanda, Gerard Hooft. Ayah Hooft yang menangkap bakat ilmiah anaknya sering membelikan buku-buku pengetahuan dan permainan yang merangsang kreativitas Hooft. Hooft masih ingat ketika ayahnya membelikan buku tentang radio. Juga ketika ia dibelikan mainan yang cukup mahal tetapi dengan perjanjian ia harus membuat apa yang diinstruksikan dalam buku panduan meskipun kemudian ia malah membuat model lain berdasarkan idenya sendiri. Hooft mengingat pemberian ayahnya itu sebagai hal terbaik yang pernah dilakukan sang ayah terhadap dirinya. Hal positif lain tentang orang tua para nobelis fisika adalah kebebasan yang diberikan orang tua mereka dalam memilih karir. Misalnya, orang tua dari W.Ketterle, nobelis fisika 2001 asal Jerman. Ia menulis bahwa orang tuanya membebaskan dirinya juga adik dan kakaknya dalam berkarir sehingga mereka bertiga memiliki karir yang beragam. Tidak bisa dipungkiri bahwa orang tua di Indonesia umumnya sedikit tidak rela membiarkan anaknya memilih karir di bidang fisika. Ini terutama karena anggapan salah bahwa penghasilan seorang fisikawan tidak bisa dibanggakan seperti profesi lainnya. Banyak orang tua di Indonesia yang lebih suka anaknya memilih bidang teknik dengan alasan yang tidak tepat yaitu masa depannya lebih cerah. Padahal seperti dikatakan oleh Martinus G. Veltman, nobelis fisika tahun 1999, fisika teori merupakan salah satu disiplin ilmu yang sangat berguna untuk dipelajari. Ilmu ini memang tidak menyiapkan seseorang untuk menguasai satu bidang kerja tertentu. Tetapi metode ilmiah yang dipelajari akan berguna untuk berbagai bidang kerja. Sebagai contoh, beberapa penerima nobel ekonomi mempunyai latar belakang fisika yang sangat kuat. Banyak fisikawan dibutuhkan di bursa-bursa saham dunia sebagai analis yang tentunya dibayar dengan gaji yang sangat tinggi.
PERAN GURU
Selain orang tua, peran guru sebagai faktor pendukung keberhasilan seorang fisikawan juga tidak bisa dikesampingkan. Ada di antara nobelis fisika ada yang tertarik menggeluti bidang fisika karena kekagumannya terhadap sang guru. Zhores I. Alferov, misalnya. Penerima nobel fisika tahun 2000 asal Rusia ini di masa mudanya beruntung mendapat guru fisika yang sangat bagus. Alferov bahkan masih ingat dengan baik nama gurunya itu; Yakov Borisovich Meltserson. Guru ini, kenang Alferov mampu “menaklukkan” murid-murid di kelasnya yang nakal-nakal sehingga mereka mau duduk tenang dan menyimak pelajaran yang disampaikannya. Mr Meltserson tampaknya memang sangat mencintai fisika. Dalam mengajar ia senantiasa mendorong imajinasi murid-muridnya bekerja. Penjelasannya tentang cara kerja osiloskop dan sistem radar membuat Alferov terkagum-kagum. Setamat sekolah, Alferovpun mengikuti saran gurunya itu untuk melanjutkan pendidikan di Ul'yanov Electrotechnical Institute di Leningrad (LETI) dan mendalami fisika. Pengalaman Martinus G. Veltman (nobelis 1999) dengan guru fisika di sekolah menengahnya bahkan lebih berkesan. Mr Baunes, demikian nama sang guru, kenang Veltman pernah datang ke rumah khusus untuk bertemu dengan orang tuanya dan menyarankan mereka agar mengirim Veltman ke perguruan tinggi untuk mengambil jurusan fisika. Pada masa itu masuk perguruan tinggi di negerinya masih tergolong ekslusif. Apalagi kondisi keuangan keluarganya juga sedang mengalami kesulitan. Namun akhirnya orang tua Veltman tidak keberatan untuk mengikuti saran gurunya itu dan memasukkannya ke Universitas Utrecth. Sebenarnya dalam keluarga Veltman sendiri, pendidikan adalah hal yang diapresiasi tinggi terutama karena ayahnya adalah kepala sekolah setempat. Selain itu, saudara ayahnya banyak yang berprofesi sebagai guru. Namun, bagi fisikawan kelahiran kota Waalwijk, Belanda ini apa yang telah dilakukan Mr Beunes tetap merupakan satu hal yang sangat istimewa. Kelak Veltman mengetahui, banyak fisikawan besar yang telah berhutang budi pada guru fisika mereka yang berkualitas dan penuh dedikasi.(dikutip dari yohanes surya)

Tidak ada komentar: